Papa, Mama Pergi Ya…
“Papa, mama pergi dulu ya..”
“Yo, dulu sajalah, pintu dapur tergerujai pula ha, diperbaiki
sedikit dulu…”
Hep pompong.
Berpapa, bermama dia kini. Dulu, tidak demikian. Tapi sejak
berkeadaan, suami-istri ini merubah panggilan untuk pasangannya.
Dulu hanya suami menyebut nama kecil istrinya. Sang istri memanggil uda.
Banyak yang sudah berubah. Kini ada rumah mungil, anak-anak tumbuh dengan sehat. Komunikasi lancar. Suami hpnya dua, satu hp sibuk, yang satu lagi tak boleh dipegang siapa pun, termasuk istri. Gerangan apakah itu?
Dengan anaknya memakai bahasa Indonesia Minang. “Jangan lasak benar, nanti jatuh, berdarah pula nanti. Kalau berdarah, ke rumah sakit pula, sayang.” Pakai sayang di ujung kalimatnya.
“Mama, minta jajan..” Pinta anaknya.
“Belanja ke belanja saja kerja kamu ya, kan ada roti di bawah
songkok, coba lihat di sana,”
“Tidak ada doh ma.”
“Di atas kepala lemari kalau begitu, minta tolong jangkau sama kakakmu.”
Eh mandas…
Dunia memang berayun-ayun dalam rumahtangga kecil pasangan suami-istri muda. Kebanyakan mereka adalah generasi baru. Waktu kecil mereka telah memanggil mama pada ibunya dan papa kepada ayahnya.
Mereka tak kenal lagi panggilan umi, amak, biyay, mandeh, atau apak, ayah, abak dsbnya.
Waktu masih remaja pasangan suami-istri ini bagai merpati. Terbang lincah dan terlihat jinak. Manja, gurih dan gesit. Sesama besar mereka kompak. “Waang kama beko, den ka pai jo si Reni,”
“Tu lah Waang, jaek bana yo, batingga an se kami.” Dia cewek-cewek, tapi memakai kata “waang”. Padahal sejak dulu,kata itu panggilan teman akrab lelaki.
Mereka kini sudah jadi ibu dan ayah bagi anak-anaknya. Anaknya bernama, entahlah, indahnya bukan main. Biasanya tiga suku kata.
Jangan harap nama chaniago ada di belakang nama, atau piliang, atau koto. Semua nama berakar dari rumpun Eropa.
Dan anak-anak sekarang memang manis-manis, gagah-gagah serta cerdas. Belanjanya juga banyak. Renggeknya selalu berbahaya karena konsekwensinya uang keluar. Anak-anak itu memanggil mama pada ibunya dan memanggil papa pada
ayahnya. Tidak tahu benar kita, apakah si anak mendapatkan kata-kata itu dari tiruannya pada apa yang diucapkan kedua orangtuaya, atau karena sebab lain. Banyak anak yang memanggil papa-mama pada orangtuanya, sementara kedua orangtuanya tidak ‘berpapa-mama’ segala.
Panggilan papa-mama pada pasangan suami istri sekarang sudah menjadi kelaziman. Bersamaan dengan kelaziman itu muncul pula anekdot. Kalau berpapa-bermama, jajan anak Rp10 ribu sehari. Kalau bermami-mami, Rp20 ribu sehari. Tarif jajan naik turun sesuai fluktuasi harga dollar.
“Kalau sama istri saya panggil nama kecilnya, istri pada saya
panggil Uda, saya orang kampung,” kata Wakil Ketua DPRD Sumbar, Masful ketika ditanya, apakah ia berpapa-bermama?
“Mati den, indak adaik den tu doh,”kata Masful pula terkekeh…
Jati diri
Uni Djan, wanita karir, berpikiran maju, terkenal di Padang,
kemarin ketika dihubungi Singgalang, langsung berkata.
“Papa ambo Zaidin Bakri, bukan Basril Taher,” katanya.
Maksudnya, ia sama suaminya memanggil ‘Uda”, bukan papa. “Uda Bas,” katanya lagi. Pernah juga ia memanggil papa pada suaminya, tapi dalam konteks ‘tolong panggilkan’, “Nak-nak, tolong panggilkan papamu,” kata dia.
Menurut Uni Djan, orang Jawa Barat memanggil Akang sama suaminya, di Jogja, memangil mas, di Medan panggil abang. “Mereka punya karakter, kita rapuh,” kata Uni Djan lagi.
Menurut dia, kalau tidak salah, 75 isi Alquran mengatur hubungan antar manusia, termasuk hubungan suami istri. Nabi, kata Uni Djan memiliki 35 langkah dalam membuat rumah-tangga harmonis. “Tapi tidak termasuk papa-mama di dalamnya.” Sepanjang pengetahuan agama yang ia miliki, menurut Uni Djan, tidak boleh memanggil
papa pada suami sendiri dan sebaliknya dilarang memanggil mama pada istri sendiri.
Uni Djan berkesimpulan yang telah hilang di Sumbar adalah jati diri, hanyut dalam gebalau zaman yang sedang gelisah.
“Urang awak lah sakik, 12 persen katoe lah gilo, 22 persen stress,” kata Uni Djan memungut sebuah hasil penelitian.
Hakekatnya
Sementara itu, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar, Haji Kamardki Rais Dt.P.Simulie, langsung terkekeh ketika hendak dimintai pendapatnya soal papa-mama tersebut.
“He he he zaman kontemporer memang banyak hal baru,” kata dia.
‘Om den pai, tante den pulang,” kata Pak Datuk pula, terkekeh lagi. Sembarang pasang saja. Seharusnya kan mamak dan etek. Tapi ini berganti om dan tante.
Begitu juga dengan papa dan mama. “Kok dapek caro awak sae lah,”kata dia.
Pernah, kata Pak Datuk, di kampungnya orang rantau pulang, terdengarlah papa-mama ini.
“Hei piak ka lakinyo maimbau abak, baa lo tuh?”
Ya begitulah kini.
Padahal dulu, kata Datuk, orang memanggil ‘tuan, uwan, sinan, situ’ dan sejumlah sebutan lain pada suaminya.
Namun menurut Pak Datuak, memanggil mama pada istri dan papa pada suami, pada hakekatnya, bukan memanggil orangtua kita. “Itu untuk mengajari anak semata, dalam hati kecilnya pasti bukan menyamakan istri atau suaminya dengan orangtuanya,” kata Datuk. Pola dan cara mendidik anak bermacam-macam. Kalau pasangan suami istri nyaman dengan panggilan seperti itu, jangan dipaksa pula kembali
memanggil dengan cara lain. Cuma saja, kata Pak Datuk, sebaiknya kembali ke jati diri sendiri. Sebab di suku bangsa lain di Indonesia, panggilan suami-istri dipungut dari khasanah lokal.
Karena itu, kalau keras benar hatinya, atau sudah tidak bisa lagi diubah, apa boleh buat, berpapa-bermama teruslah. Tintianglah…
Kata Pak Datuk zaman telah berubah. Sekarang kalau tak berpagut berjalan, sekurangnya siku dipegang bagai takkan lepas. “Dulu kami berjalan ciek di muko, ciek di balakang, tali kami panjang, tali rang kini pendek.”
Tidak sama dengan ibu
Sementara itu, Buya Mas’ud Abidin menilai, panggilan papa-mama adalah untuk mengajari anak agar jangan salah.
“Barangkali di Minangkabau,ada satu kata yg tersimpan,yakni “anak” atau “paja” awak.Bila seorang ayah berkata mama kepada istri maksudnya adalah mama dari anaknya.Begitu pula sebaliknya, ” kata Buya kepada Singgalang, kemarin.
Karena itu, dalam bahasa sehari-hari doeloe disebut, apak
anak, abak anak, apak paja, mandeh anak, biay paja. Bahkan kata ibu, ummi, mami, amak, bundo, mama, biay, mandeh selalu artinya yang melahirkan anak.
Karena itu jangan dianggap menyebut kata ummi tidak sama artinya dengan mami atau mama.
“Cuma asal kata saja nan balain, ciek nagari ulando, ciek nagari unto, “kata Buya.
Memanggil dengan sebutan-sebutan di atas, bukan diartikan istri kita disamakan dg ibu kita. “Makanya urang awak di kampung doeloe memanggil dengan sebutan sindiran,seperti awak, amak si anu, abak si fulan, lebih halus rangkayo, dan dengan sebutan uda, udo, ajo, adiek, sutan, atau lainnya.”
Ajaran agama Islam menyebut “jangan engkau samakan istrimu dengan punggung ibumu”, maksudnya istri tidak diacuhkan lagi.
Jadi anggilan mama-mami, papa-papi, ayah-bundo,abak-amak,ummi-abi, sebenarnya sama saja.Ada yang tidak disebut dan dijelaskan di ujungnya, yaitu “anak”. Jadi menurut Buya, seseorang memanggil mama pada istrinya, maksudnya “mama si… (nama anak).
Begitulah, berpapa, atau bermama, atau panggil uda, terserah keyakinan masing-masing. Tapi kata Uni Djan, jangan, karena suami
kita bukan papa kita, istri kita bukan mama kita. “Cobalah pikir dengan otak yang jernih, apa arti kata mama dan papa, balik-baliklah kamus besar bahasa Indonesia itu,” kata Uni Djan. Memang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) keluaran Balai Pustaka, mama berarti orangtua perempuan; ibu. Sedang papa, bapak, sapaan kepada orangtua laki-laki.Lalu papa dan mama suami istri apa artinya?
Entahlah./o khairul jasmi