khairuljasmi

Just another WordPress.com weblog

  • Kategori

  • Arsip

Papa, Mama Pergi Ya…

Posted by kaje pada September 25, 2006

Papa, Mama Pergi Ya…

“Papa, mama pergi dulu ya..”
“Yo, dulu sajalah, pintu dapur tergerujai pula ha, diperbaiki 
sedikit dulu…”

Hep pompong.

Berpapa, bermama dia kini. Dulu, tidak demikian. Tapi sejak 
berkeadaan, suami-istri ini merubah panggilan untuk pasangannya. 
Dulu hanya suami menyebut nama kecil istrinya. Sang istri memang
gil uda.
Banyak yang sudah berubah. Kini ada rumah mungil, anak-anak 
tumbuh dengan sehat. Komunikasi lancar. Suami hpnya dua, satu hp 
sibuk, yang satu lagi tak boleh dipegang siapa pun, termasuk 
istri. Gerangan apakah itu?

Dengan anaknya memakai bahasa Indonesia Minang. “Jangan lasak 
benar, nanti jatuh, berdarah pula nanti. Kalau berdarah, ke rumah 
sakit pula, sayang.” Pakai sayang di ujung kalimatnya.
“Mama, minta jajan..” Pinta anaknya.
“Belanja ke belanja saja kerja kamu ya, kan ada roti di bawah 
songkok, coba lihat di sana,”
“Tidak ada doh ma.”
“Di atas kepala lemari kalau begitu, minta tolong jangkau sama 
kakakmu.”

Eh mandas…

Dunia memang berayun-ayun dalam rumahtangga kecil pasangan suami-
istri muda. Kebanyakan mereka adalah generasi baru. Waktu kecil 
mereka telah memanggil mama pada ibunya dan papa kepada ayahnya.
Mereka tak kenal lagi panggilan umi, amak, biyay, mandeh, atau 
apak, ayah, abak dsbnya.

Waktu masih remaja pasangan suami-istri ini bagai merpati. Ter
bang lincah dan terlihat jinak. Manja, gurih dan gesit. Sesama 
besar mereka kompak. “Waang kama beko, den ka pai jo si Reni,”
“Tu lah Waang, jaek bana yo, batingga an se kami.” Dia cewek-
cewek, tapi memakai kata “waang”. Padahal sejak dulu,kata itu 
panggilan teman akrab lelaki.

Mereka kini sudah jadi ibu dan ayah bagi anak-anaknya. Anaknya 
bernama, entahlah, indahnya bukan main. Biasanya tiga suku kata. 
Jangan harap nama chaniago ada di belakang nama, atau piliang, 
atau koto. Semua nama berakar dari rumpun Eropa.

Dan anak-anak sekarang memang manis-manis, gagah-gagah serta 
cerdas. Belanjanya juga banyak. Renggeknya selalu berbahaya 
karena konsekwensinya uang keluar. ð 7 3 
Š
Anak-anak itu memanggil mama pada ibunya dan memanggil papa pada 
ayahnya. Tidak tahu benar kita, apakah si anak mendapatkan kata-
kata itu dari tiruannya pada apa yang diucapkan kedua orangtuan
ya, atau karena sebab lain. Banyak anak yang memanggil papa-mama 
pada orangtuanya, sementara kedua orangtuanya tidak ‘berpapa-
mama’ segala.

Panggilan papa-mama pada pasangan suami istri sekarang sudah 
menjadi kelaziman. Bersamaan dengan kelaziman itu muncul pula 
anekdot. Kalau berpapa-bermama, jajan anak Rp10 ribu sehari. 
Kalau bermami-mami, Rp20 ribu sehari. Tarif jajan naik turun 
sesuai fluktuasi harga dollar.

“Kalau sama istri saya panggil nama kecilnya, istri pada saya 
panggil Uda, saya orang kampung,” kata Wakil Ketua DPRD Sumbar, 
Masful ketika ditanya, apakah ia berpapa-bermama?

“Mati den, indak adaik den tu doh,”kata Masful pula terkekeh…

Jati diri

Uni Djan, wanita karir, berpikiran maju, terkenal di Padang, 
kemarin ketika dihubungi Singgalang, langsung berkata.
“Papa ambo Zaidin Bakri, bukan Basril Taher,” katanya.
Maksudnya, ia sama suaminya memanggil ‘Uda”, bukan papa. “Uda 
Bas,” katanya lagi. Pernah juga ia memanggil papa pada suaminya, 
tapi dalam konteks ‘tolong panggilkan’, “Nak-nak, tolong panggil
kan papamu,” kata dia.
Menurut Uni Djan, orang Jawa Barat memanggil Akang sama suaminya, 
di Jogja, memangil mas, di Medan panggil abang. “Mereka punya 
karakter, kita rapuh,” kata Uni Djan lagi.
Menurut dia, kalau tidak salah, 75 isi Alquran mengatur hubungan 
antar manusia, termasuk hubungan suami istri. Nabi, kata Uni Djan 
memiliki 35 langkah dalam membuat rumah-tangga harmonis. “Tapi 
tidak termasuk papa-mama di dalamnya.” Sepanjang pengetahuan 
agama yang ia miliki, menurut Uni Djan, tidak boleh memanggil 
papa pada suami sendiri dan sebaliknya dilarang memanggil mama 
pada istri sendiri.
Uni Djan berkesimpulan yang telah hilang di Sumbar adalah jati 
diri, hanyut dalam gebalau zaman yang sedang gelisah.
“Urang awak lah sakik, 12 persen katoe lah gilo, 22 persen 
stress,” kata Uni Djan memungut sebuah hasil penelitian.

Hakekatnya

Sementara itu, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau 
(LKAAM) Sumbar, Haji Kamardki Rais Dt.P.Simulie, langsung terke
keh ketika hendak dimintai pendapatnya soal papa-mama tersebut.

“He he he zaman kontemporer memang banyak hal baru,” kata dia.
‘Om den pai, tante den pulang,” kata Pak Datuk pula, terkekeh 
lagi. Sembarang pasang saja. Seharusnya kan mamak dan etek. Tapi 
kini berganti om dan tante.
Begitu juga dengan papa dan mama. “Kok dapek caro awak sae lah,”  ð 7 3 Škata dia.
Pernah, kata Pak Datuk, di kampungnya orang rantau pulang, ter
dengarlah papa-mama ini.
“Hei piak ka lakinyo maimbau abak, baa lo tuh?”
Ya begitulah kini.

Padahal dulu, kata Datuk, orang memanggil ‘tuan, uwan, sinan, 
situ’ dan sejumlah sebutan lain pada suaminya.
Namun menurut Pak Datuak, memanggil mama pada istri dan papa pada 
suami, pada hakekatnya, bukan memanggil orangtua kita. “Itu untuk 
mengajari anak semata, dalam hati kecilnya pasti bukan menyamakan 
istri atau suaminya dengan orangtuanya,” kata Datuk. Pola dan 
cara mendidik anak bermacam-macam. Kalau pasangan suami istri 
nyaman dengan panggilan seperti itu, jangan dipaksa pula kembali 
memanggil dengan cara lain. Cuma saja, kata Pak Datuk, sebaiknya 
kembali ke jati diri sendiri. Sebab di suku bangsa lain di Indo
nesia, panggilan suami-istri dipungut dari khasanah lokal.
Karena itu, kalau keras benar hatinya, atau sudah tidak bisa lagi 
diubah, apa boleh buat, berpapa-bermama teruslah. Tintianglah…
Kata Pak Datuk zaman telah berubah. Sekarang kalau tak berpagut 
berjalan, sekurangnya siku dipegang bagai takkan lepas. “Dulu 
kami berjalan ciek di muko, ciek di balakang, tali kamipanjang, 
tali rang kini pendek.”

Tidak sama dengan ibu
Sementara itu, Buya Mas’ud Abidin menilai, panggilan papa-mama 
adalah untuk mengajari anak agar jangan salah.
“Barangkali di Minangkabau,ada satu kata yg tersimpan,yakni 
“anak” atau “paja” awak.Bila seorang ayah berkata mama kepada 
istri maksudnya adalah mama dari anaknya.Begitu pula sebaliknya, 
‘ kata Buya kepada Singgalang, kemarin.
Karena itu, dalam bahasa sehari-hari doeloe disebut, apak 
anak,abak anak,apak paja, mandeh anak,biay paja.Bahkan kata 
ibu,ummi,mami,amak,bundo,mama,biay,mandeh selalu artinya yang 
melahirkan anak.
Karena itu jangan dianggap menyebut kata ummi tidak sama artinya 
dengan mami atau mama.
“Cuma asal kata saja nan balain,ciek dari ulando ciek lai nagari 
unto, “kata Buya.
Memanggil dg sebutan-sebutan di atas,bukan diartikan istri kita 
disamakan dg ibu kita. “Makanya urang awak di kampung doeloe 
memanggil dengan sebutan sindiran,seperti awak,amak si anu,abak 
si fulan,lebih halus rangkayo,dan dengan sebutan 
uda,udo,ajo,adiek,sutan,atau lainnya.”
Ajaran agama Islam menyebut “jangan engkau samakan istrimu dengan 
punggung ibumu”,maksudnya istri tidak diacuhkan lagi.
Jadi anggilan mama-mami, papa-papi, ayah-bundo,abak-amak,ummi-
abi,sebenarnya sama saja.Ada yang tidak disebut dan dijelaskan 
diujungnya, yaitu “anak”. Jadi menurut Buya, seseorang memanggil 
mama pada istrinya, maksudnya “mama si… (nama anak).
Begitulah, berpapa, atau bermama, atau panggil uda, terserah 
keyakinan masing-masing. Tapi kata Uni Djan, jangan, karena suami 
kita bukan papa kita, istri kita bukan mama kita. “Cobalah pikir 
dengan otak yang jernih, apa arti kata mama dan papa, balik-
baliklah kamus besar bahasa Indonesia itu,” kata Uni Djan. ð 7 3 
ŠMemang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) keluaran Balai 
Pustaka, mama berarti orangtua perempuan;ibu. Sedang papa, bapak, 
sapaan kepada orangtua laki-laki.
Lalu papa dan mama suami istri apa artinya?
Entahlah./o khairul

Tinggalkan komentar